TRENDING NOW

Bank Dunia dalam laporan berjudul "Infrastructure Sector Assesment Program" menyoroti infrastruktur Jokowi, salah satu sorotan berkaitan dengan penugasan BUMN. (CNNIndonesia/Safir Makki).
Jakarta, CNN Indonesia -- Bank Dunia memberikan sorotan pada pembangunan infrastruktur pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo. Salah satu sorotan mereka berikan terkait penugasan yang diberikan pemerintahan Jokowi terhadap BUMN dalam pembangunan infrastruktur.

Dalam laporan berjudul "Infrastructure Sector Assesment Program" edisi Juni 2018, Bank Dunia menyatakan untuk menjalankan penugasan yang diberikan, tak jarang pemerintah memberikan keistimewaan kepada perusahaan pelat merah. 

Keistimewaan diberikan dalam beberapa bentuk. Pertama, pemberian suntikan modal dalam bentuk Penyertaan Modal Negara (PMN). Tercatat, pada 2015 lalu pemerintah memberikan suntikan modal Rp41,4 triliun untuk 36 BUMN, yang setengah di antaranya digunakan untuk pembangunan infrastruktur.


Pada 2016, suntikan modal dinaikkan menjadi Rp53,98 triliun yang 83 persen di antaranya untuk pembangunan infrastruktur. Selain suntikan modal, BUMN juga sering diberikan akses yang lebih mudah untuk mendapatkan pinjaman dari bank BUMN tanpa uji kelayakan yang jelas dengan suku bunga rendah.

Bank Dunia dalam laporan tersebut menyatakan pemberian penugasan dan insentif tersebut telah menimbulkan masalah. Masalah berkaitan dengan peningkatan jumlah utang BUMN.

Untuk menjalankan penugasan dan membiayai pembangunan infrastruktur, BUMN yang tidak mempunyai dana operasional harus mencari pinjaman. Data Bank Dunia, tingkat utang tujuh BUMN infrastruktur yang ditugaskan pemerintah membangun infrastruktur, pada September 2017 lalu mencapai Rp200 triliun.


Jumlah utang BUMN tersebut naik tiga kali lipat dari tiga tahun sebelumnya atau sebelum mendapatkan penugasan. Utang berpotensi bertambah terus kalau mereka tetap menjalankan penugasan.

Masalah lain, berkurangnya kesempatan investasi sektor swasta dalam pembangunan infrastruktur. Bank Dunia menyatakan suntikan modal, insentif dan kemudahan yang diberikan kepada BUMN dalam menjalankan penugasan telah membuat perusahaan pelat merah di atas angin dalam tender dan lelang proyek infrastruktur.

Fasilitas tersebut telah mengurangi daya saing sektor swasta terhadap BUMN, sehingga membatasi kesempatan mereka untuk dapat memenangkan proyek.

Bank Dunia Klarifikasi 'Kritik' Pembangunan Proyek Jokowi EMBIlustrasi. (Anadolu Agency/Eko Siswono Toyudho)

Selain penugasan BUMN, Bank Dunia juga memberikan perhatian kepada pelaksanaan pembangunan infrastruktur dengan skema pemerintah badan usaha (KPBU). Bank Dunia dalam laporan setebal 344 halaman tersebut menyatakan sebenarnya pemerintah melalui Perpres Nomor 38 Tahun 2015 tentang Kerja Sama Pemerintah Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur sudah membuat kemajuan yang bagus dalam menetapkan institusi, instrumen dan proses agar proyek berskema KPBU bisa dijalankan.

Dengan kemajuan tersebut, selama 2015 sampai dengan 2017, 13 proyek berskema KPBU dengan nilai total investasi US$8,94 miliar berhasil dijalankan. Tapi menurut mereka, masih ada sejumlah hambatan yang harus diselesaikan pemerintah agar skema tersebut bisa ditingkatkan.

Salah satu hambatan berkaitan dengan kualitas persiapan proyek. Mereka menilai kemauan dan kapasitas yang dimiliki oleh agen pemerintah dalam merencanakan proyek masih kurang.


Permasalahan tersebut diperparah oleh keengganan Bappenas dalam menolak setiap proposal yang perencanaannya masih kurang tersebut. Selain kualitas persiapan, mereka juga menyoroti buruknya manajemen koordinasi dalam pelaksanaan proyek berskema KPBU.

Dalam pemberian dukungan kepada sektor swasta yang ingin masuk ke dalam proyek berskema KPBU, koordinasi antar kementerian dan lembaga terkait cukup lemah. Untuk pemberian dukungan berbentuk dana dukungan tunai infrastruktur (Viability Gap Fund) maupun pembayaran layanan ketersediaan (availibility payment) misalnya, sering instansi yang terlibat banyak dan memiliki suara berbeda.

VGF dan Instrumen AP diatur serta dikelola oleh direktorat jenderal yang berbeda di dalam Kemenkeu, dan juga Kementerian Dalam Negeri (Depdagri). Sedangkan ketentuan jaminan untuk dukungan tersebut dikelola terutama oleh PT PII.


Sayang sampai dengan berita ini diturunkan, CNNIndonesia belum bisa mengkonfirmasi ke Bank Dunia perihal laporan tersebut.  Selain Bank Dunia, sorotan terhadap pembangunan infrastruktur era Jokowi sebelumnya juga disampaikan calon Wakil Presiden Sandiaga Uno.

Sandiaga saat menghadiri Dialog dan Silaturahim Tokoh-tokoh dan Pengusaha se-Jawa Timur mengatakan pembangunan infrastruktur saat ini tidak tepat sasaran. Secara gamblang Bank Dunia sudah mengatakan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan infrastruktur RI tidak dilakukan dengan baik, sehingga akhirnya tidak tepat sasaran dan tidak memberikan dampak yang baik ke masyarakat. (aud/agt)
Mantan Biarawati, Ustadzah Irena Handono turut ambil peran mengkritisi tentang persoalan ‘Islam Nusantara’ yang sempat digaungkan ke ranah publik. Menurut pendiri Irena Center ini, Allah hanya meridhoi risalah sebagaimana yang dibawa oleh nabi Muhammad s.a.w..
Bukan Islam A, Islam B, Islam C, apalagi Islam Nusantara seperti sekarang yang rajin digaungkan oleh satu golongan atas nama menjunjung toleransi,” tulisnya pada akun Facebook miliknya Senin (22/06/2015).
Allah telah berfirman di dalam surat Al Maa-idah: 3, “Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untukmu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku ridhoi Islam sebagai agamamu”, yang sesungguhnya telah sempurnalah agama Islam di muka bumi ini, tanpa embel-embel atau atas nama toleransi buatan manusia. Dan model toleransi yang terdapat di agama Islam adalah bentuk toleransi yang agung, bahkan sejak Islam berkembang pada awal kenabian Muhammad.
“Tanpa harus merunut akar budaya toleransi Nusantara, sejak Islam berkembang pada awal kenabian, Islam sudah menunjukkan satu model toleransi dan sistem pemerintahan yang agung. Ini tercermin dalam Piagam Madinah yang diakui politikus Barat sebagai aturan yang paling modern pada masanya,” sebutnya.
Untuk itu ia mempertanyakan oleh pihak-pihak yang menggaungkan ‘Islam Nusantara’ dengan, ‘tidak cukupkah Allah melalui Rasulnya memberikan syariat ini. Dengan mengutip salah satu perkataan imam yang menjadi rujukan umat muslim dunia, ia menyebut golongan atau pihak ‘Islam Nusantara’ sama saja telah menuduh nabi Muhammad sebagai penerima risalah yang ingkar. Pasalnya, secara tidak langsung golongan atau pihak tertentu tidak mempercayai ke-Sempurnaan yang diberikan Allah subhana wa ta’ala.
“Imam Malik berkata, “Barang siapa yang membuat perkara yang diada-adakan dalam Islam dan melihatnya sebagai suatu kebaikan, maka sesungguhnya dia telah menuduh bahwa Nabi Muhammad telah berkhianat, karena Allah Ta’ala telah berfirman dalam Al Qur’an (yang artinya), “Pada hari ini telah Aku sempurnakan bagimu agamamu…”. Maka apa yang pada hari itu tidak termasuk sebagai agama, maka pada hari inipun bukan pula termasuk dalam agama,” kutipnya dari Al I’tisham karya Asy Syathibi. (Robigusta Suryanto/voa-islam.com)
BLOKIR JOKOWI :  DI pelbagai pehelatan, Presiden Jokowi acapkali galau. Galau terhadap  indikator ekonomi nasional. Stabilitas moneter kondusif, anggaran negara terkelola baik, IHSG makin menunjukkan taringnya,  surplus neraca perdagangan on the right track, cadangan devisa terdongkrak hingga membumbung US$130 miliar, pertumbuhan kredit mulai terkerek, EoDB meloncat dari rangking 120 (2014) kemudian masuk ke angka 72 (2017), bahkan beberapa lembaga pemeringkat internasional selalu mengacungi jempol.

Tidak hanya itu, harga komoditas pun juga sudah membaik. Lantas mengapa pertumbuhan ekonomi nasional berjalan sempoyogan? Apa yang salah Bapak Presiden?

Iya, onderdil anatomi ekonomi secara makro memang bagus dan dipersepsikan sehat wa alfiat. Tapi, harap diingat, onderdil di tingkat mikro masih kepayahan dan kurang sentuhan afirmatif karena semuanya dikalkulasi secara politis.



Ekonomi rakyat terseok-seok; pemihakan pada petani dan nelayan lips services serta sekadar menggugurkan kewajiban program alias proyek; program kemitraan penuh intrik, instant, dan kurang ketulusan; inovasi rakyat dan kaum terpelajar kurang diapresiasi, dan seterusnya.

Adakah ini semua menandakan bahwa ekonomi Indonesia sudah masuk dalam middle income trap yang acap membayangi negara-negara berkembang? Apakah ini ”takdir” sebelum Tuhan ”menakdirkan kita”? Jebakan itulah yang memantik ekonomi bergerak stagnan, sehingga Bapak Presiden pun terjebak dalam kegalauan yang amat sangat.

Saya teringat sebuah buku menarik dari pemikir strukturalis Johan Galtung “Peace by Peaceful Means: Peace and Conflict, Development and Civilization”, Oslo, (1996).

Galtung menyebut, ada enam aliran pemikiran ekonomi yang disimbolkannya warna-warni. Ada tiga warna dasar yakni: Merah, Biru dan Hijau. Biru adalah lambang ekonomi kapitalis yang berintikan pasar dan modal. Warna merah mewakili ekonomi sosialis yang bertumpu pada negara dan kekuasaan. Sedangkan warna Hijau mewakili ekonomi Dunia Ketiga yang sedang berkembang. Ketiga aliran yang lain merupakan ekonomi campuran.

Tapi pengertian “campuran” menurut Galtung, yakni Pertama, campuran antara Biru, Merah dan Hijau, yang menjadi warna Merah Muda atau Merah Jambu (pink). Tapi, representasi aliran Merah Muda ini adalah negara-negara Eropa Barat minus Inggris, terutama negara-negara Nordic, yaitu negara-negara yang mengikuti konsep negara kesejahteraan.

Sedangkan campuran antara warna Biru dan Merah menghasilkan warna Kuning yg diwakili oleh negara-negara Timur Jauh, khususnya Jepang, Korea Selatan, Taiwan, Hongkong dan Singapur, yang menggabungkan secara tegas unsur-unsur pasar dan negara, modal dan kekuasaan.

Aliran pemikiran lain yang disebutnya adalah campuran antara Hijau, Merah Muda dan Kuning yang dinilai sebagai kombinasi yang ideal, karena tidak langsung mencampur warna Biru dan Merah. Aliran ini masih merupakan “angan-angan”, belum ada representasinya.

Yang jadi pertanyaan apakah kegalauan Presiden Jakowi, yang kemudian memicu jebakan kelas menengah (jebakan pendapatan perkapita US$3.500) terkait ketidakjelasnya “jenis kelamin“ yang dimiliki oleh arah dan orientasi ekonomi Indonesia?

Ataukah ekonomi Indonesoia bergerak, sesuai makna kategoris Galtung yang menuju campuran antara Hijau, Merah Muda dan Kuning? Berarti ekonomi Indonesia masih dalam angan-angan alias mimpi. Ataukah Presiden dalam keadaan mengigau?

Mukhaer Pakkana
Wakil Ketua Majelis Ekonomi dan Kewirausahaan Pimpinan Pusat Muhammadiyah.
BLOKIR JOKOWI Peneliti Institute Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudistira mengatakan, ada sejumlah proyek strategis nasional yang diwacanakan Presiden Jokowi tidak rasional.

Untuk itu, Bhima menyarakankan agar pemerintah mengkaji ulang 245 proyek yang direncanakan pemerintahan Jokowi.

"Yang harus dilakukan sekarang oleh pemerintah adalah melakukan rasionalisasi target. Dari, 245 target yang harus selesai 2019 harus dipangkas agar lebih realistis menjadi 60," ujar Bhima kepada wartawan Selasa (12/12).



Menurut Bhima, saat ini pembangunan infrastruktur di era Presiden Jokowi tidak memberikan manfaat signifikan bagi masyarakat. Hal itu terbukti dengan bertambahnya jumlah pengangguran di tahun 2017.

"Proyek 35 ribu megawatt perlu dipangkas karena ada kemungkinan terjadi oversupply listrik. Kemudian proyek kereta cepat Jakarta-Bandung tidak feasible dilakukan (kendala lahan, red), dan proyek pelabuhan Patimban perlu dievaluasi," sambung Bhima.

Kemudian, kata dia, guna meningkatkan penyerapan tenaga kerja, pemerintah juga harus mulai berbagi proyek dengan perusahaan swasta lokal. Proyek kecil harus bisa dibagi kepada perusahaan swasta lokal.

Sebab, tutur Bhima, salah satu penyebab turunnya kualitas pembangunan infrastruktur terhadap perekonomian negara juga disebabkan karena telah terjadi ketimpangan antara kontraktor besar dan kecil.

"Dari data Gapensi (Gabungan Pelaksana Konstruksi Nasional Indonesia) proyek infrastruktur pemerintah hanya dilakukan oleh kontraktor besar yang penguasaannya mencapai 87%. Sementara, kontraktor lokal kecil hanya kebagian 6% dari total proyek," ungkap Bhima.

Tidak hanya itu, Bhima juga meminta, agar pemerintah dapat meningkatkan 'trickle down effect' proyek infrastruktur bagi masyarakat. Bhima mengatakan hal tersebut bisa dilakukan dengan memanfaatkan dana desa.

"Dana desa juga bisa digunakan untuk membangun infrastruktur. Lebih baik pemerintah juga fokus pada proyek kecil di 74 ribu desa yang bisa menyerap jutaan pengangguran," pungkasnya.[tsc]
BLOKIR JOKOWI Saat bertemu Wakil Perdana Menteri China, Liu Yandong, di Istana Wakil Presiden (27/11/2017), Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) dengan tegas meminta agar China tak lagi mengirimkan buruh untuk dipekerjakan di proyek-proyek investasi di Indonesia. JK menilai, sistem investasi dengan mengirim buruh ini telah merugikan tenaga kerja dalam negeri.



Terkait hal itu, pengamat ekonomi dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Salamuddin Daeng, menduga Presiden Joko Widodo telah menyembunyikan data buruh dari China, sehingga memunculkan protes dari Wapres JK.


"Dia tidak berterus terang, menurut saya. Jokowi tidak berterus terang," kata Salamuddin Daeng kepada itoday (08/12).



Menurut Salamuddin, semua proyek infrastruktur yang menggunakan modal investasi asing; utang luar negeri; bahkan barang-barang impor yang tergolong masih belum dikenal oleh pekerja Indonesia; sudah pasti menggunakan TKA. "Mana bisa kita mengerjakannya," tegasnya.


Sejalan dengan itu pengamat ekonomi Ronnie Higuchi Rusli di akun Twitter @Ronnie_Rusli mengingatkan: “Jaman The Netherland Indische (Indonesia atau VOC) ada ekpor budak ke Tobago Trinidad, tapi keturunan budak itu sekarang yang berkuasa ada yang jadi perdana menteri dan menteri. Sekarang kita impor buruh dari China dan ekspor TKI merosot.”


Presiden Jokowi sempat membantah keras isu yang menyebut 10 juta tenaga kerja asal China masuk ke Indonesia. Mantan Walikota Solo itu mengklaim angka sebesar itu sesungguhnya merupakan jumlah wisatawan China
BLOKIR JOKOWI Lama terdiam, Presiden Jokowi akhirnya bicara soal proyek reklamasi Teluk Jakarta yang semakin hot ini. Jokowi tidak menunjukkan sikap apakah setuju melanjutkan reklamasi seperti keinginan Luhut Panjaitan, atau menyetop reklamasi seperti keinginan Anies-Sandi. Jokowi hanya menyatakan tidak pernah mengeluarkan izin reklamasi, baik saat masih menjadi gubernur DKIJakarta maupun sebagai presiden. Cuci tangan apa lepas tangan Pak Jokowi?

Jika diingat-ingat, terakhir kali Jokowi mengomentari soal reklamasi akhir April tahun lalu. Saat proyek reklamasi mulai jadi sorotan setelah anggota DPRD DKI M Sanusi tertangkap tangan oleh KPK dalam kasus suap pembahasan raperda reklamasi. Tak lama kemudian Menko Kemaritiman saat itu Rizal Ramli memutuskan me-moratorium reklamasi atau menghentikan sementara karena alasan peraturan yang tumpang tindih dan izin yang awut-awutan.

Jokowi kemudian menggelar rapat membahas kelanjutan proyek tersebut. Para menteri terkait diundang, termasuk pimpinan KPK Laode M Syarif dan Gubernur DKI saat itu Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Usai rapat, Jokowi memutuskan melanjutkan proyek reklamasi di pesisir utara Jakarta itu.


Urusan reklamasi kembali memanas setelah Menko Kemaritiman Luhut Panjaitan mencabut moratorium reklamasi 5 Oktober lalu atau sepuluh hari jelang pelantikan Anies Baswedan dan Sandiaga Uno sebagai gubernur dan wagub DKI Jakarta. Kata Luhut, moratorium dicabut karena masalah administrasi yang sudah dipenuhi pengembang. Dia meminta Pemprov DKI dapat melakukan pengawasan sesuai kewenangannya agar pelaksanaan proyek reklamasi di teluk pantai utara Jakarta bisa dilaksanakan sesuai ketentuan perundang-undangan.

Nah, kemarin Jokowi kembali mengomentari soal reklamasi. Dia bilang, tidak pernah mengeluarkan izin untuk reklamasi Teluk Jakarta, baik saat menjadi gubernur DKI Jakarta maupun sebagai presiden. Jokowi juga memberikan klarifikasi tentang Pergub DKI Jakarta Nomor 146 tentang Pedoman Teknis Membangun dan Pelayanan Perizinan Prasarana Reklamasi Kawasan Strategis Pantura Jakarta. Soal itu, Jokowi bilang Pergub merupakan petunjuk untuk mengajukan perizinan. "Kalau yang itu, Pergub kan acuan petunjuk dalam rangka kalau kamu minta izin, bukan reklamasinya. Kalau kamu minta izin, aturannya seperti apa. Bukan kamu saya beri izin, kamu saya beri izin reklamasi, bukan itu," kata Jokowi di sela peninjauan tambak udang di Muara Gembong, Jawa Barat.

Komentar Jokowi ini mundur selangkah dibanding komentar Wapres Jusuf Kalla sehari sebelumnya yang menawarkan jalan tengah menghadapi polemik proyek reklamasi. Terutama menengahi perbedaan sikap antara pemerintah pusat dan Pemprov DKI yang ingin melajutkan dan menghentikan proyek tersebut. JK bilang, proyek reklamasi yang tengah dibangun saat ini tetap dilanjutkan dengan peruntukkan untuk kepentingan masyarakat. Artinya, pemerintah tetap akan menyelesaikan proses reklamasi Teluk Jakarta untuk pulau buatan yang terlanjur sedang dibangun, yakni Pulau C dan D, dari 14 pulau yang termasuk dalam proyek reklamasi. Sedangkan untuk beberapa proyek reklamasi pulau yang lain pemerintah tidak akan lagi memaksakan.

Sementara, Anies-Sandi tetap pada keputusannya menghentikan reklamasi. Kemarin, Sandi mengundang eks ketua Tim Sinkronisasi Anies-Sandi, Sudirman Said untuk membahas antara lain poyek reklamasi. Usai bertemu, Sudirman menyebut ada tiga hal yang menjadi perhatian Pemprov DKI. Pertama, menata ulang aspek legalitas proyek reklamasi. Kedua, segala keputusan tentang reklamasi mendatang harus berdasar pada kajian komprehensif. Seperti aspek legalitas, lingkungan hidup, komersial dan pemanfaatan. Ketiga, melakukan kajian terhadap pulau-pulau yang sudah dibangun. Akan dijadikan apa pulau-pulau tersebut. Kajian tersebut harus sesuai UU 26/2006 tentang Tata Ruang dan UU No 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.

Pengamat politik dari Universitas Parahyangan Prof Asep Warlan Yusuf mengatakan, omongan Jokowi soal reklamasi mengungkapkan beberapa pesan. Pertama, Jokowi terkesan cuci tangan atas apa yang dilakukan Menko Kemaritiman Luhut Panjaitan yang ingin melanjutkan proyek reklamasi dengan mencabut moratorium yang dilakukan pendahulunya. Kata Asep, Jokowi seperti tidak mau terlibat dalam suatu masalah walau mengetahuinya. Padahal, saat menjadi Gubernur DKI, Jokowi menerbitkan Pergub tentang Pedoman Teknis Membangun dan Pelayanan Perizinan Prasarana Reklamasi Kawasan Strategis Pantura Jakarta.

Selain itu, proyek reklamasi ini melibatkan paling tidak empat kementrian yaitu Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian Perhubungan dan Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR). Kementerian tersebut terlibat karena menyangkut nasib nelayan dan tata ruang kawasan pesisir, pelayaran dan Amdal.

Kenapa Jokowi baru berkomentar sekarang? Asep menduga, Jokowi baru menyadari publik sangat menyoroti bagaimana ending proyek tersebut. Sayangnya apa yang disampaikan Jokowi sangat mundur jauh ke belakang. Mestinya Jokowi menunjukkan tanggung jawabnya sebagai presiden atau sebagai pemimpin tertinggi di Indonesia. Yaitu, di saat terjadi selisih pendapat antara pusat dan daerah dan ada konflik kepentingan, pemimpin turun tangan mengambil alih persoalan. Pemimpin itu soal tanggung jawab. Dan seperti yang saya usulkan sebelumnya, Presiden mengambil alih tanggung jawab dan memutuskan apa yang terbaik untuk kepentingan masyarakat.

"Soal Alexis Presiden memang tidak perlu berkomentar karena urusan remeh temeh. Tapi kalau sudah urusan reklamasi, presiden harus menunjukkan sikap. Jangan sampai terkesan presiden lepas tangan terhadap masalah ini," kata Asep kepada Rakyat Merdeka, tadi malam.

Asep bilang, dalam memutuskan Jokowi jangan hanya melihat aspek ekonomis. Pemerintah memang mesti memperhatikan pengembang yang sudah berinvestasi, tapi juga harus memikirkan aspek budaya, sosial, dan dampak lingkungan dan sebagainya. Jangan hanya mendengar yang pro reklamasi tapi juga mereka yang menentangnya. [rmol]

Recent Posts